Kamis, 23 Agustus 2012

CSR: Ini tentang Tanggung Jawab Sosial


CSR. Lester Thurow, tahun 1066 dalam bukunya “The Future of Capitalism”, sudah memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan kencang tanpa perlawanan. Hal ini disebabkan, musuh utamanya, sosialisme dan komunisme telah lenyap. Pemikiran Thurow ini menggaris bawahi bahwa kapitalisme tak hanya berurusan pada ekonomi semata, melainkan juga memaukkan unsur sosial dan lingkungan untuk membangun masyarakat, atau yang kemudian disebut sustainable society. Pada jamannya, pemikiran Thurow tersebut sulit diaplikasikan, hal ini ia tuliskan seperti there is no social ‘must’ in capitalism.....

Jaman pun berlalu, tahun 1962, Rachel Calson lewat bukunya “The Silent Spring”, memaparkan pada dunia tentang kerusakan lingkungan dan kehidupan yang diakibatkan oleh racun peptisida yang mematikan. Paparan yang disampaikan dalam buku “Silent Spring” tersebut menggugah kesadaran banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju kehancuran bersama. Dari sini CSR (Corporate Social Responsibility) pun mulai digaungkan. Tepatnya di era 1970-an. Banyak professor menulis buku tentang pentingnya tanggung jawab sosial mperusahaan, di samping kegiatan mengeruk untung. Buku-buku tersebut antara lain; “Beyond the bottom line” karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama penerima gelarProfessor of Public Policy and Business Responsibility dari Universitas Columbia.

Pemikiran para ilmuwan sosial di era itu masih banyak mendapatkan tentangan, hingga akhirnya muncul buku yang menghebohkan dunia hasil pemikiran para intelektual dari Club of Roma, bertajuk “The Limits to Growth”. Buku ini mengingatkan bahwa, disatu sisi bumu memiliki keterbatasan daya dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasi manusia bertumbuh secara eksponensial. Karena itu, eksploitasi sumber daya alam mestidilakukan secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan.

Era 1980 – 1990, pemikiran dan perbincangan tentang issu ini terus berkembang, kesadaran dalam berbagi keuntungan untuk tanggungjawab sosial, dan dikenal sebagai community development. Hasil menggembirakan dating dari KTT Bumi di Rio de Jenerio (1992) yang menegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang harus diperhatikan, tidak saja oleh negara, terlebih lagi oleh kalangan korporasi yang diprediksi bakal melesatka kapitalisme yang kian menggila di masa mendatang.

Dari sini konsep CSR terus bergulir, berkembang dan diaplikasikan dalam berbagai bentuk. James Collins dan Jerry Poras dalam bukunyaBuilt to Last: Successful Habits of Visionary Companies (1994,menyampaikan bukti bahwa perusahaan yang terus hidup adalah yang tidak semata mencetak lippahan uang saja, tetapi perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan sosial dan turut andil dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Konsep da pemikiran senada juga ditawarkan oleh John Elkington lewat bukunya yang erjudul “Cannibals with Fork, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business. Dalam bukunya ini, Elkington menawarkan solusi bagi peusahaan untuk berkembang di masa mendatang, di mana mereka harus memperhatikan 3P, bukan sekedar keuntungan (Profit), juga harus terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat (People) dan berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (Planet).

Agenda World Summit di Johannesburg (2002), menekankan pentingnya tanggung jawab social perusahaan. Dari situ program CSR mulai terus berjalan dan berkembang dengan berbagai konsep dan definisi. Kesadaran menjalankan CSR akhirnya tumbuh menjadi trend global, terutama produk-produk yang ramah lingkungan yang diproduksi dengan memperhatikan kaidah social dan hak asasi manusia.

Di pasar modal globalpun, CSR juga menjadi factor yang diperhitungkan. Misalnya New York Stock Exchange (NYSE) saat ini menerapkan program Dow Jones Sustainable Index (DJSI) untu saham perusahaan yang dikategorikan memiliki Social Responsible Investment (SRI). Kemudian Index and Financial Times Stock Exchange (FTSE) menerapkan FTSE4 Good, sejak 2001. Konsekuensi dari adanya index-index tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pension dan asuransi yang hanya akan menanamkan investasinya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam index tersebut.

Di Indonesia, kini kita menyaksikan perbincangan yang terus berlanjut seputar konsep dan perjalanan CSR ini. Ada persetujuan dan pula pertentangan. Terlebih pihak pemerintah secara khusus membuatkan UU tentang tanggung jawab social ini, yakni dalam UU Perseroan Terbatas Pasal 74. Terlepas dar itu, isu tentang Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hangat. Persoalannya bukan lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke aspek bisnis dan penyehatan orporasi. Lama-kelamaan, CSR tidak lagi dipandang sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi.

Dalam sebuah ulasan di Majalah Marketing (edisi 11/2007) menegaskan tentang mengapa pula perusahaan harus berinvestasi pada kegiatan CSR? Apakah lantaran moralitas semata atau dia sudah menjadi marketing tools yang efisien? Pertanyaan ini kerap hinggap di kepala manajemen dan divisi marketing sewaktu mempersiapkan strategi CSR. Akan tetapi, perdebatan paling gres tentang CSR adalah soal impak program tersebut pada profit perusahaan. Para pelaku dituntut untuk ikut memikirkan program yang mampu mendukung sustainability perusahaan dan aktivitas CSR itu sendiri. Dalam hal ini, strategi perusahaan mesti responsif terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi bisnis—seperti perubahan global, tren baru di pasar, dan kebutuhan stakeholders yang belum terpenuhi—ketimbang mengabaikannya.

Berkaitan dengan masalah impak tadi, Global CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa pentingnya CSR. Bayangkan, dalam survei di 10 negara tersebut, mayoritas konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan—serta merekomendasikan kepada yang lainnya—sebagai respon terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya, sebanyak 61% dari mereka sudah memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial.  Ya, CSR kini bukan lagi sekadar program charity yang tak berbekas. Melainkan telah menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for profit). Karena itu, hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukung core business perusahaan.

Philip Kotler, dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat di mata investor. Apakah CSR memang seampuh itu? Dalam kaca mata Godo Tjahjono, Chief Consulting Officer Prentis , CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu: license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari sisi  marketing, CSR juga bisa menjadi bagian dari brand differentiation. )**

Dan seiring perkembangannya pun CSR juga hadir dengan konsep, istilah dan definisi yang beragam. Ya, CSR kini bukan lagi sekadar program charity yang tak berbekas. Melainkan telah menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for profit). Karena itu, hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukungcore business perusahaan.

Kini kita menyaksikan dan mengharap gairah perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk menerapkan program kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar ditengah kekosongan issu saja, melainkan mamp menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.

**(di sarikan dari berbagai sumber – Cikeas Magazine ”CSR dari mana datangnya” (Vol 1 No 4/07), Majalah Marketing ”CSR for Profit” (edisi 11/2007), dan Sejarah Panjang Konsep CSR, Societa (12/2006))

--------------
[Penulis adalah pendiri dan program director MT Comm yang juga aktif sebagai Media Relations Consultant Asbanda, PR Consultant BonChon Chicken Indonesia, Redaktur F (Film) Magazine, Trainer di The International Republican Institute (IRI) untuk media relations dan Candidate branding dan Branding New Party. Trainer di XP Training & Pillar Edu. Selain itu ia juga mengajar media relations dan creative writing di Selapa Polri untuk Dikjur Humas angkatan 2008, Pernah menjadi Program Director Pelatihan Public Speaking DivHumas Mabes Polri (27 Juli s/d 15 Agustus 2008 di Hotel Paragon Jakarta).
Twitter @tarsih_ekp / @Mr_Tpr, web: www.tarsihekaputra.web.id / www.slideshare.net/tarsihekaputra